Dalil dan Pengertian Akhlaqul Karimah
Dilihat dari segi etimologi kata ”akhlak” berasal dari bahasa arab, jamak dari kata ”khuluk” yang artinya perangkai atau tabiat. Ibnu Athir dalam bukunya ”An-nihayah” menerangkan, hakikat makna khuluk itu, ialah gambaran batin
manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedang khalqu merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan lain sebagainya).
Tidak berbeda dengan pendapat Ibnu Athir ini, imam Al-Ghazali berkata pula: ” bilamana orang mengatakan si A itu baik khalqunya, berarti si A itu baik sifat lahirnya dan sifat batinya ”. Dalam pengertian sehari-hari, ”akhlak” kesusilaan” atau sopan santun dalam bahasa Indonesia, dan tidak berbeda pula dengan arti kata ”moral” atau ”ethic”
Adapun kata akhlak itu sendiri bersumber dari Al-Qur’an yaitu surat Al-Qalam ayat 4 yang artinya: ”Sesungguhnya engkau (Muhammad) mempunyai budi pekerti yang luhur”.[2]
Sedangkan definisi ”akhlak” menurut Ibnu Maskawih menyatakan, bahwa yang disebut ”akhlak” ialah: keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dulu[3].
Dari beberapa definisi yang disebutkan oleh beberapa pakar diatas, maka kiranya definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut akhlak itu ialah: kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran lebih dulu.
Selanjutnya menurut Abdullah Dirroz, perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dua syarat, yaitu : Pertama, perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar seperti paksaan dari orang lain sehingga menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah-indah, dan lain sebagainya
Sedangkan dari Aisyah, ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
إنَّمَا الْمُؤْمِنُ لِيُدْرِكَ بِحُسْنِ خَلْقِهِ درَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
”Sesungguhnya orang mukmin (dapat) dikenal dengan akhlaknya yang baik (yang pahalanya) sederajat orang yang berpuasa lagi bangun malam”.
Maksud dari bangun malam, yakni untuk melakukan sholat malam (tahajjud). Orang yang berakhlak baik akan diberikan ganjaran baik pula. Orang yang berpuasa dan yang shalat di malam hari itulah orang yang bermujahadah terhadap dirinya dan mengurangi porsi dirinya itu (demi melakukan ibadah).
Adapun orang yang berakhlak baik dengan manusia yang beragam tingkah lakunya itu, maka aplikasi akhlak dalam keadaan seperti itu merupakan mujahadah terhadap dirinya. Itulah sebabnya diberikan kepada orang tersebut pahala orang yang berpuasa dan qiyamul-lail dengan derajat yang sama
Tidak berbeda dengan pendapat Ibnu Athir ini, imam Al-Ghazali berkata pula: ” bilamana orang mengatakan si A itu baik khalqunya, berarti si A itu baik sifat lahirnya dan sifat batinya ”. Dalam pengertian sehari-hari, ”akhlak” kesusilaan” atau sopan santun dalam bahasa Indonesia, dan tidak berbeda pula dengan arti kata ”moral” atau ”ethic”
Adapun kata akhlak itu sendiri bersumber dari Al-Qur’an yaitu surat Al-Qalam ayat 4 yang artinya: ”Sesungguhnya engkau (Muhammad) mempunyai budi pekerti yang luhur”.[2]
Sedangkan definisi ”akhlak” menurut Ibnu Maskawih menyatakan, bahwa yang disebut ”akhlak” ialah: keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dulu[3].
Dari beberapa definisi yang disebutkan oleh beberapa pakar diatas, maka kiranya definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut akhlak itu ialah: kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran lebih dulu.
Selanjutnya menurut Abdullah Dirroz, perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dua syarat, yaitu : Pertama, perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar seperti paksaan dari orang lain sehingga menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah-indah, dan lain sebagainya
Sedangkan dari Aisyah, ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
إنَّمَا الْمُؤْمِنُ لِيُدْرِكَ بِحُسْنِ خَلْقِهِ درَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
”Sesungguhnya orang mukmin (dapat) dikenal dengan akhlaknya yang baik (yang pahalanya) sederajat orang yang berpuasa lagi bangun malam”.
Maksud dari bangun malam, yakni untuk melakukan sholat malam (tahajjud). Orang yang berakhlak baik akan diberikan ganjaran baik pula. Orang yang berpuasa dan yang shalat di malam hari itulah orang yang bermujahadah terhadap dirinya dan mengurangi porsi dirinya itu (demi melakukan ibadah).
Adapun orang yang berakhlak baik dengan manusia yang beragam tingkah lakunya itu, maka aplikasi akhlak dalam keadaan seperti itu merupakan mujahadah terhadap dirinya. Itulah sebabnya diberikan kepada orang tersebut pahala orang yang berpuasa dan qiyamul-lail dengan derajat yang sama
Comments
Post a Comment