Fikih dalam Hukum Syara' Pergaulan Muammalah
TERKADANG manusia belum bisa memilih jalan yang baik dalam hidupnya. Mereka hanya memilih jalan yang mulus untuk mencapai kebahagiaan. Mereka menganggap hidup ini harus instan, manusia banyak yang menginginkan jalan yang “mulus” tanpa resiko dan “alergi” untuk melewati jalan hidup yang penuh duri, walaupun ia sadar bahwa jalan yang berduri itu yang akan membawanya pada kebahagiaan.
Tidak sedikit orang yang menjalani hidupnya tanpa standar, melakukan perbuatan asal-asalan tanpa melihat standar perbuatan yang ia lakukan. Dan akhirnya melakukan perbuatan yang buruk (tercela) namun ia menganggap itu baik (terpuji). misal, ia keluar rumah dengan mengumbar auratnya, atau menutup aurat tapi tidak sempurna, pakaiannya ketat, lekuk-lekuk tubuh kelihatan. tetapi menurutnya sudah menutup aurat jadi dianggap sudah benar atau baik. Padahal memperlihatkan lekuk tubuh merupakan perbuatan yang tercela.
Agar tidak salah memberi standar perbuatan baik atau buruk, maka dibutuhkan standar yang konstan untuk menilai setiap perbuatan, sehingga kita akan mengetahui status hukum sebelum melakukannya. Islam telah menjadikan syariat sebagai standar yang konstan dan permanen untuk mengukur perbuatan. Yang nantinya tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Mau yang dulu, sekarang atau yang akan datang tak akan pernah berubah.
Syariat-syariat yang menghukumi suatu perbuatan itu disebut hukum syara’. Hukum syara’ adalah seruan dari Sang Pembuat Syariat (Allah Subhanahu wa Ta’aala) yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Seruan Pembuat Syariat adalah perkara yang terdapat dalam alquran dan sunnah. Baik berupa perintah maupun larangan.
Jadi, jika kita ingin berbuat sesuatu maka harus terikat dengan hukum syara’. Agar kita tidak asal-asalan dan tidak salah dalam menjalani kehidupan ini. karena yang kita inginkan adalah keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kenapa kita harus menutup aurat, berakhlak baik, jujur, berbakti kepada orang tua, sholat, jual beli dengan jalan halal dll, itu dikarenakan ada dalil alquran maupun sunnah yang memerintahkan perbuatan tersebut. Dan kita wajib untuk terikat dengan hukum syara’. Oleh karena itu, kita wajib memahami syariat. Kalau sudah wajib berarti kita harus tahu apa saja syariat dari Allah, kalau belum tahu, yuk ngaji!
Oleh karena itu, Allah Subhanahu Wa Ta’aala menegaskan bahwa setiap aspek kehidupan manusia, baik yang terkait hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesamanya, semuanya telah dijelaskan dalil-dalilnya didalam al-Quran.
“(Dan ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS an-Nahl [16]:89).
Dengan demikian, setiap Muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan naluri) , maka wajib secara syar’i mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut sebelum melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syara’. Dengan kata lain, wajib bagi setiap Muslim senantiasa mengkaitkan seluruh perbuatannya dengan hukum syari’at Islam, serta tidak melakukan suatu apapun, kecuali jika sesuai dengan perintah dan larangan Allah Subhanahu Wa Ta’aala
Jadi, Islam telah menetapkan bagi semua manusia suatu tolok ukur untuk menilai sesuatu, sehingga dapat diketahui perbuatan yang terpuji (baik) yang harus dikerjakan dan perbuatan yang tercela(buruk) harus ditinggalkan. Dan tolok ukur itu adalah hukum syara’ yakni seruan Allah yang dibawa oleh Rasulullah bukan akal atau nafsu manusia.
Dalam kaidah ushul fiqih:
“Sesuatu yang terpuji adalah sesuatu yang dipuji oleh syara’ dan sesuatu yang tercela adalah yang dicela syara’”
Jelaslah bahwa semua perbuatan manusia akan dihisab oleh Allah. dan jika kita ingin keselamatan, ketenangan, dan kebahagiaan maka dalam hidup kita harus terikat dengan hukum syara’. Dan untuk memahaminya adalah dengan cara melalui pengkajian Islam, mendalami Islam dan menerapkannya. [Oleh: Minah, S.Pd.I
Penulis Motivasi]
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos.
Tidak sedikit orang yang menjalani hidupnya tanpa standar, melakukan perbuatan asal-asalan tanpa melihat standar perbuatan yang ia lakukan. Dan akhirnya melakukan perbuatan yang buruk (tercela) namun ia menganggap itu baik (terpuji). misal, ia keluar rumah dengan mengumbar auratnya, atau menutup aurat tapi tidak sempurna, pakaiannya ketat, lekuk-lekuk tubuh kelihatan. tetapi menurutnya sudah menutup aurat jadi dianggap sudah benar atau baik. Padahal memperlihatkan lekuk tubuh merupakan perbuatan yang tercela.
Agar tidak salah memberi standar perbuatan baik atau buruk, maka dibutuhkan standar yang konstan untuk menilai setiap perbuatan, sehingga kita akan mengetahui status hukum sebelum melakukannya. Islam telah menjadikan syariat sebagai standar yang konstan dan permanen untuk mengukur perbuatan. Yang nantinya tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Mau yang dulu, sekarang atau yang akan datang tak akan pernah berubah.
Syariat-syariat yang menghukumi suatu perbuatan itu disebut hukum syara’. Hukum syara’ adalah seruan dari Sang Pembuat Syariat (Allah Subhanahu wa Ta’aala) yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Seruan Pembuat Syariat adalah perkara yang terdapat dalam alquran dan sunnah. Baik berupa perintah maupun larangan.
Jadi, jika kita ingin berbuat sesuatu maka harus terikat dengan hukum syara’. Agar kita tidak asal-asalan dan tidak salah dalam menjalani kehidupan ini. karena yang kita inginkan adalah keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kenapa kita harus menutup aurat, berakhlak baik, jujur, berbakti kepada orang tua, sholat, jual beli dengan jalan halal dll, itu dikarenakan ada dalil alquran maupun sunnah yang memerintahkan perbuatan tersebut. Dan kita wajib untuk terikat dengan hukum syara’. Oleh karena itu, kita wajib memahami syariat. Kalau sudah wajib berarti kita harus tahu apa saja syariat dari Allah, kalau belum tahu, yuk ngaji!
Oleh karena itu, Allah Subhanahu Wa Ta’aala menegaskan bahwa setiap aspek kehidupan manusia, baik yang terkait hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesamanya, semuanya telah dijelaskan dalil-dalilnya didalam al-Quran.
“(Dan ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS an-Nahl [16]:89).
Dengan demikian, setiap Muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan naluri) , maka wajib secara syar’i mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut sebelum melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syara’. Dengan kata lain, wajib bagi setiap Muslim senantiasa mengkaitkan seluruh perbuatannya dengan hukum syari’at Islam, serta tidak melakukan suatu apapun, kecuali jika sesuai dengan perintah dan larangan Allah Subhanahu Wa Ta’aala
Jadi, Islam telah menetapkan bagi semua manusia suatu tolok ukur untuk menilai sesuatu, sehingga dapat diketahui perbuatan yang terpuji (baik) yang harus dikerjakan dan perbuatan yang tercela(buruk) harus ditinggalkan. Dan tolok ukur itu adalah hukum syara’ yakni seruan Allah yang dibawa oleh Rasulullah bukan akal atau nafsu manusia.
Dalam kaidah ushul fiqih:
“Sesuatu yang terpuji adalah sesuatu yang dipuji oleh syara’ dan sesuatu yang tercela adalah yang dicela syara’”
Jelaslah bahwa semua perbuatan manusia akan dihisab oleh Allah. dan jika kita ingin keselamatan, ketenangan, dan kebahagiaan maka dalam hidup kita harus terikat dengan hukum syara’. Dan untuk memahaminya adalah dengan cara melalui pengkajian Islam, mendalami Islam dan menerapkannya. [Oleh: Minah, S.Pd.I
Penulis Motivasi]
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos.
Comments
Post a Comment